Sekitar Kita

Mengatasi Catcalling Memerlukan Tindakan Kolektif

Mengatasi Catcalling Memerlukan Tindakan Kolektif

Persnasional.co.id - Seperti yang kita ketahui Catcalling merupakan penggunaan kata yang tidak senonoh, ekspresi secara verbal dan non verbal yang terjadi di tempat umum atau publik. Fenomena catcalling sendiri dapat membuat korban merasa tidak nyaman, bahkan terancam.

Di Indonesia, catcalling dapat digolongkan sebagai pelecehan seksual non fisik atau berbentuk pernyataan (verbal). Tindakan tersebut melanggar hak-hak individu untuk bergerak bebas tanpa adanya intimidasi atau pelecehan serta masuk ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Banyak yang beranggapan bahwa catcalling adalah suatu perbuatan yang lumrah dan merupakan hal yang wajar dilakukannya, bahkan faktanya banyak yang menganggap catcalling suatu pujian atau candaan yang disampaikan seseorang di tempat-tempat umum. Akan tetapi, nyatanya tidakan atau perbuatan tersebut termasuk salah satu bentuk gangguan dijalan (street harassement) dan tindakan pelecehan seksual secara verbal atau termasuk kategori pelecehan seksual nonfisik yang terjadi kepada seseorang tanpa kesukarelaan orang tersebut.

Tindakan catcalling dapat dikatakan melawan hukum karena mengganggu dan mengurangi hak asasi manusia (HAM) orang lain, dimana dalam hal ini perbuatan atau tindakan yang mengganggu dan mengurangi hak asasi orang lain melanggar hukum. Unsur kesalahan dalam perbuatan catcalling ini diantaranya ialah kemampuan dari diri pelaku kejahatan tersebut untuk bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang dilakukannya, hubungan yang kuat antara pembuat dengan kesalahannya seperti alasan pemaaf, pertanggung jawaban dari pelaku catcalling berkaitan erat dengan kesalahan pelaku buat.

Seseorang mampu untuk dimintakan pertanggung jawabannya apabila tidak ada lagi alasan pembenar atau alasan pemaaf dari perbuatan yang dilakukannya. Dampak catcalling lainnya adalah dapat menghilangkan rasa percaya diri seseorang. Pasalnya, komentar merendahkan yang didapat dari pelaku catcalling akan membuat individunya merasa rendah diri, malu, dan meragukan penampilan fisik mereka.

Statiska mengenai pelecehan di jalanan dan catcalling sungguh mengejutkan. Lebih dari 65% perempuan yang disurvei melaporkan mengalami pelecehan seksual di jalan. 65% masyarakat pernah mengalami kekerasan verbal seperti makian, siulan, dan gerak tubuh, dan 41% pernah mengalami kekerasan fisik. 23% disentuh secara tidak pantas, dan 20% lainnya melaporkan bahwa 9% dipaksa melakukan tindakan seksual.

Selain itu, satu dari empat perempuan akan mengalami pelecehan seksual seumur hidup mereka. Karena catcalling dan pelecehan seksual di jalanan dimulai sejak dini, para peneliti menduga jumlah perempuan yang mengalami perilaku ini jauh lebih tinggi dari 65%.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak ada pasal yang secara eksplisit mengatur tindak pidana pelecehan seksual. Namun perbuatan tersebut termasuk perbuatan cabul dalam pasal 289 sampai 296 KUHP, Undang-undang tersebut mengkualifikasikan pelecehan seksual sebagai bentuk pelecehan seksual kriminal.

Pengertian pelecehan seksual non-fisik tertuang dalam Pasal 5 UU TPKS, yaitu suatu perbuatan seksual secara non-fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas atau kesusilaannya.Pelaku pelecehan seksual non fisik dapat dikenakan pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak 10 juta.

Jadi menurut wawancara kepada ahli psikologi Ketika perempuan mengalami catcalling perempuan cenderung menjadi sosok yang harus diam saat terjadi pelecehan seksual karena Ketika hal tersebyt yang ada dibenak perempuan ialah bagaimana kalua nanti saya disalahkan, lingkungan melihat saya “oh baju saya terlalu terbuka,terlalu seksi atau mungkin saya memancing pelecehan seksual atau kalau ingin marah dan berteriak tidak ada yang percaya, kemudian berfikir apakah saya bertindak berlebihan? Atau jangn-jangan itu dilakukan tidak sengaja.

Hal tersebutlah sebetulnya yang dapat menjadi memicu masalah, seakan-akan hak perempuan itu adalah untuk diam dan menerima itu. Padahal hak perempuan jika mengalami pelecehan seksual/ catcalling pantas untuk membela diri sendiri dengan cara memberontak atau melaporkan kepada pihak yang berwajib. Tetapi sayangnya untuk saat ini pada beberapa kasus, Tindakan menegur pelaku dan melaporkan kepada pihak berwenang tidak mendapatkan respons sesuai yang dapat diharapkan. Karena kenyataanya, perilaku catcall dianggap sepele oleh beberapa pihak yang berkepentingan. Apabila laporan mereka yang terkena dampak catcalling dapat diterima untuk ditindaklanjuti, birokrasinya akan memproses kasus yang terkesan lamban dan tidak tegas.

Pada akhirnya catcalling yang bermasalah tidak terlalu dianggap dan dinormalisasikan, dan menjadi lebih serius lagi bila terjadi di lingkungan Pendidikan. Catcalling sangat terkesan sederhana dan merupakan bentuk kecil dari berbagai jenis pelecehan seksual yang ada, namun Tindakan tersebut menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi korbannya sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi yang mengalaminya.

Bukankah itu sangat berbahaya? Jadi, masikah anda menutup mata? Apakah anda cukup peduli dengan menegur baik-baik mereka yang melakukannya catcalling?. (*)

Ditulis oleh: Dinda Octaviana Putri